Ketika saya
merenungkan dan memperbandingkan
pola pendidikan yang saya terima dulu dengan pola yang ada sekarang, saya
merasa JIWA dan SENI ajar mengajar sudah mengalami perbedaan dan pergeseran
nilai. Berbincang dengan teman-teman lain yang entah berperan sebagai orang
tua, pengamat pendidikan atau lainnya, mereka juga merasakan perbedaan itu.
Dampak dari semua itu adalah perilaku anak yang dinilai beda dengan perilaku
jaman kita di usia yang sama. Kalau mau dinilai secara objektif, tentu saja ada
sisi positif dan sisi negatif.
Sebuah peribahasa
Latin yang berbunyi “Non scholae sed vitae discimus” dapat diterjemahkan
sebagai kita belajar bukan untuk nilai sekolah, namun demi nilai kehidupan.
Artinya di sini adalah tujuan utama dari sekolah bukanlah demi nilai yang
tinggi atau demi orang tua, diri sendiri atau guru/sekolah, namun yang ingin
dicapai dengan bersekolah adalah mendapat manfaat (baca: ilmu) yang bisa
dipergunakan dalam hidup.
Perbedaan pendidikan
jaman dulu dan jaman
sekarang saya perbandingkan dari sisi:
- Orientasi pendidikan
- Institusi pendidikan
- Tenaga pendidik
- Materi pendidikan
ORIENTASI
PENDIDIKAN
Orientasi Pendidikan Jaman Dulu
Pada awalnya
pendidikan dimaksudkan untuk mendidik benih manusia agar anak manusia ini
tumbuh menjadi seorang yang berakhlak tinggi dan mulia, yang
berbeda dengan manusia
purba. Investasi manusia di sini berarti memanusiakan manusia, yaitu
mengajarkan nilai kehidupan kepada seorang anak manusia, yang diibaratkan benih
manusia. Misi utama lembaga pendidikan adalah mengajarkan budi pekerti, etika,
saling mengalah dan mendulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Hal ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat. Setelah itu institusi dan tenaga pendidik baru akan
mengajarkan keterampilan yang membuat benih manusia itu mampu menyokong
hidupnya sendiri di masa depan.
Orientasi Pendidikan Jaman Sekarang
Pendidikan sekarang
lebih berorientasi kepada bagaimana meningkat kecerdasan, prestasi,
keterampilan, dan bagaimana menghadapi persaingan. Pendidikan sekarang
kehilangan misi utamanya untuk investasi karakter manusia. Pendidikan moral dan
karakter bukan lagi merupakan faktor utama seorang anak mengenyam pendidikan.
Kedua hal ini dianggap menjadi tugas para tokoh agama, tugas orang tua atau
wali di rumah. Sekolah berlomba menonjolkan kurikulum yang dipercaya bisa
menciptakan generasi muda super dari usia sedini mungkin. Para orang tua juga
tergiur dan ingin anaknya menjadi “super kid.” Kata teman-teman saya: “Biar
pensiun muda!”
INSTITUSI PENDIDIKAN
Institusi Pendidikan Jaman Dulu
Jaman dulu sekolah
didirikan oleh pem erintah atau para misionaris dan pemuka agama. SD Negeri,
SMP Negeri, SMA Negeri adalah judul sekolah yang didirikan dan beroperasi atas
anggaran Departemen Pendidikan. Para misionaris yang awalnya berasal dari
Belanda melalui misi penyebaran agama Kristiani juga mendirikan sekolah sebagai
wujud pelayanan, di samping mendirikan rumah sakit. Madrasah-madrasah,
tsanawiyah-tsanawiyah juga berdiri dan dikelola oleh pemuka agama dan mesjid.
Karena misi utama
mereka adalah pelayanan dan kembali kepada orientasi pendidikan yang diemban,
maka sekolah dalam hal ini tidak mengejar keuntungan secara materi. Pada jaman dulu memang ada perbedaan biaya juga, yaitu antara
sekolah favorit dan sekolah yang tidak begitu unggul. Orang tua juga berupaya
agar anaknya bisa masuk sekolah favorit, walaupun harus mengeluarkan dana lebih
banyak.
Institusi Pendidikan Jaman Sekarang
Jaman sekarang orang
pribadi, yayasan atau perusahaan swasta boleh mendirikan institusi pendidikan.
Hal ini membuat misi utama sebuah institusi pendidikan tidak lagi murni untuk
pelayanan sosial, namun orang atau yayasan atau perusahaan yang mendirikan
lembaga pendidikan tersebut akan memperhitungkan biaya yang telah dikeluarkan.
Ini berarti sebuah sekolah atau lembaga pendidikan adalah suatu investasi. Agar
mempunyai daya saing satu dengan lainnya, masing-masing menghadirkan kelebihan
yang tidak dimiliki sekolah tradisional yang sudah ada, misalnya dari segi
kurikulum, sarana pendidikan, tenaga pengajar asing dsb.
TENAGA PENDIDIK
Tenaga Pendidik Jaman Dulu
Pada jaman ini
seseorang memilih menjadi guru lebih terdorong oleh hasrat dalam diri untuk
membaktikan diri. Ia memahami konsekuensi menjadi guru adalah melayani, dan
sudah sadar bahwa ia tidak akan kaya seperti seorang pengusaha. Di era 1980-n
seorang guru yang mempunyai kemampuan lebih bisa memberikan les privat di luar
jam sekolah, itu adalah pemasukan tambahan selain gaji pokok sebagai seorang
guru. Ada juga yang membuka warung kecil-kecilan untuk menambah lauk di rumah.
Belum lagi di daerah terpencil, tenaga mereka dihargai dengan hasil lading
orang tua murid. Maka di jaman itu kita s
ering mendengar
istilah: “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.”
Guru pada jaman itu
merupakan suatu profesi yang sangat terhormat, karena dianggap memiliki
pengetahuan lebih daripada masyarakat setempat. Masyarakat juga menuntut para
guru mengajarkan nilai moral kepada anak-anak mereka, di samping pengetahuan
baca tulis dan berhitung. Guru juga punya hak otoriter sebagai pengganti orang
tua bila anak berada di sekolah. Cara mendidik mereka lebih banyak menggunakan
pendekatan pribadi yang membuat interaksi guru murid lebih erat. Hal ini
terbawa sampai di luar jam sekolah karena kondisi social masyarakat jaman dulu yang lebih bersifat kekeluargaan.
Tenaga Pendidik Jaman Sekarang
Perekrutan tenaga
pendidik sekarang (baca: Mayoritas) lebih mengutamakan nilai kelulusan dan
sertifikasi yang dimiliki guru tersebut. Apakah guru tersebut sudah pasti
kompeten mengajar dengan kelulusan yang bernilai tinggi dan banyaknya
sertifikat yang dimiliki? Belum tentu. (Maaf, tidak ada sedikit pun maksud saya
untuk menyamaratakan dedikasi dan porensi semua guru). Namun sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa sekolah-sekolah yang ingin merekrut guru di samping
pengalaman minimal 1 atau 2 tahun juga meminta bukti berupa sertifikat yang
dimiliki guru tersebut sebagai bukti bahwa ia mempunyai ‘skill’ lebih. Tuntutan
ekonomi membuat dedikasi mengajar sebagai suatu pelayanan menjadi berkurang.
Bisa dimaklumi karena media apapun sekarang berlomba menawarkan barang
konsumsi. Guru juga seorang manusia, ia punya keluarga yang harus dihidupi. Di
jaman sekarang tuntutan ekonomi seakan tidak pernah habis, malah selalu naik
setiap tahunnya.
Cara mendidik guru
sekarang juga sangat jarang menggunakan pendekatan pribadi lagi. Wibawa seorang
guru tidak lagi dianggap sebagai pihak otoriter yang mesti disegani, dipanuti.
Murid menganggap guru mengajar hanya menjalankan kewajiban, interaksi
guru-siswa terbatas pada jam sekolah. Masyarakat sekarang yang lebih mengarah
ke individualis, terutama di kota-kota besar, membuat interaksi personal
semakin berkurang. (Sekali lagi maaf…ini kecenderungan yang terlihat menonjol
di masyarakat kita). Apakah hal ini merupakan efek domino dari tuntutan jaman
atau sistem pemerintahan kita dalam menyusun kurikulum?
MATERI PENDIDIKAN
Materi Pendidikan Jaman Dulu
Kurikulum atau materi pendidikan
jaman dulu lebih menekankan
pada pembentukan nurani seorang anak, penumbuhan dan penguatan karakter yang
kelak membuatnya mampu membedakan mana yang baik dan benar, untuk kemudian
mengutamakan keadilan, kedamaian, harkat dan martabat manusia terlepas dari
perbedaan suku, agama, ras dan budaya. Terlepas suatu sekolah itu sekolah
favorit atau tidak, mereka punya kurikulum yang sama. Selolah tidak terbagi menjadi
sekolah nasional, sekolah nasional plus, sekolah internasional. Materi yang
diajarkan kepada siswa di setiap propinsi sama, kalaupun berbeda tidak terdapat
kesenjangan yang mencolok mata.
Materi Pendidikan Jaman Sekarang
Jaman sekarang status
sekolah terbagi menjadi menjadi sekolah nasional, sekolah nasional plus,
sekolah internasional. Ada istilah diakui, terakreditasi dll. Kurikulum yang
digunakan juga berbeda satu dengan lainnya. Ada sekolah yang menggunakan
kurikulum Cambridge, ada yang menggunakan kurikulum Montessori, dan lain-lain.
Penonjolan keunggulan juga terlihat dari banyaknya jam pengajaran suatu mata
pelajaran tertentu, misalnya ada sekolah yang bahasa pengantarnya Inggris,
Mandarin. Ironisnya bahasa Indonesia hanya diberikan satu jam per minggu.
Bagaimana menanamkan semangat nasionalisme dan kebangsaan bila sejak kecil
seorang anak diajari bahwa bahasa yang lebih bergengsi dan diterima di dunia
internasional itu adalah bahasa selain bahasa Indonesia?
Di samping itu
penekanan tujuan sekolah dititikberatkan pada cara-cara untuk meningkatkan
kecerdasan, prestasi, keterampilan, dan bagaimana mempersiapkan siswa
menghadapi persaingan global di masa depan.
KESIMPULAN
Setiap jaman mempunyai
masalah dan situasi yang berbeda. Sangat naif bila kita sekarang memaksakan
kurikulum yang ada pada pendidikan jaman dulu diterapkan pada kurikulum sekarang. Ibarat pada tahun
1960-an orang begitu bangga mengenakan celana panjang model cut-bray, tidak
mungkin kita menuntut remaja sekarang juga memakai model yang sama. Mereka akan
terlihat aneh di mata remaja lain yang mengikuti perkembangan model legging
jaman sekarang.
Itu soal pakaian,
tentunya beda sekali dengan pendidikan dan kurikulum yang up-to-date untuk
mengembangkan potensi seorang anak manusia. Lantas kurikulum seperti apa yang
ideal? Pola seperti apa yang ingin kita tanamkan kepada anak Indonesia?
Menurut saya bila
seseorang memutuskan memilih berprofesi sebagai seorang guru hendaklah dirinya
juga berpikir, bersikap dan berperilaku seperti seorang guru. Ada pesan dari
seorang dosen saya yang berkata: “Ketika kita menghukum anak didik, kita juga
sedang menghukum diri sendiri.”
Artinya, bila murid
melakukan kesalahan maka guru juga punya andil dalam kesalahan tersebut, dan
murid akan mempunyai respek bila guru tersebut berada di sampingnya dalam
mengkoreksi kesalahan tersebut. Ketika murid dihukum menulis ulang esainya,
guru duduk mendampinginya. Guru juga merasakan apa yang dialaminya. Anak akan
segan dan respek pada orang yang mampu menyelami apa yang dirasakannya.
Saya pribadi juga
berharap kurikulum yang akan disusun pada tahun 2013 mampu mengembalikan
kurikulum ke tujuan pendidikan yang utama, yakni: “Non scholae sed vitae
discimus”, yaitu kita belajar bukan untuk nilai sekolah, namun demi nilai kehidupan.
Semoga kurikulum yang baru berisi elemen-elemen pendidikan yang essensial.
ELEMEN PENDIDIKAN ESSENSIAL
Pendidikan terhadap
seorang anak mencakup beberapa segi atau elemen, yang masing-masing harus
ditanamkan kepada anak dalam porsi yang proporsional, agar kelak mereka bisa
mempunyai keseimbangan di antara berbagai elemen tersebut. Elemen-elemen itu
sengaja tidak saya urutkan karena semuanya sama penting!
Pendidikan seorang
anak seyogyanya mencakup bidang:
- Ilmu Pengetahuan
- Karakter
- Kesenian / Budaya
- Spiritual / keagamaan.
- Kreativitas
Semua aspek tersebut
diperlukan untuk mendidik dan membina seorang anak agar menjadi seorang insan
yang berpengetahuan dan kreatif, mencintai bangsa, berhati nurani dan
bijaksana. Anak Indonesia juga harus mempunyai keterampilan, kompetensi seperti
anak-anak di negara lain. Sekarang sudah jaman globalisasi, tentulah anak juga
perlu kreativitas menciptakan peluang untuk kehidupan yang lebih baik.
Kreativitas itu mencakup kreatif dalam berpikir, kreatif dalam bertindak dan kreatif
dalam memprediksi hal atau masa yang akan datang.
Bila tujuan, visi dan
misi sudah ditegakkan, kita perlu mencacah ke bagian lebih lanjut, yaitu
bagaimana mewujudkan visi misi tersebut? Bagaimana menerapkan dan mengawasi
jalannya kurikulum yang baru itu? Apa proporsi yang ideal antara meningkatkan
karakter dan ilmu pengetahuan? Bagaimana agar pendidikan bisa dinikmati merata
di semua kalangan? Bagaimana menentukan kriteria keberhasilan suatu pendidikan?
PENUTUP (Proses Pendidikan)
Proses pendidikan adalah
suatu proses yang berlangsung seumur hidup, dimulai pada saat ia dilahirkan.
Hal ini berarti keberhasilan seorang anak terbentuk dari pendidikan yang
diterimanya, yakni dari: keluarga, sekolah dan lingkungan atau komunitas di
mana anak tersebut tumbuh (dibesarkan). Dan sifatnya adalah jangka panjang dan
berkelanjutan. Anak-anak hanya akan tumbuh menjadi pribadi yang matang bila
dibesarkan di lingkungan yang berkarakter, sehingga hakekat setiap anak yang
dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal. Dan karakter yang ini
terbentuk dari suatu kebiasaan (habit) yang terus menerus dipraktekkan.
Anak belajar paling
banyak dari apa yang dilihat dan didengarnya, oleh sebab itu sangat penting
menempatkan anak di lingkungan yang bisa membina dan mendidik anak untuk
menjadi seorang manusia yang dewasa, penuh kasih sayang, cerdas, mampu
berempati dengan orang lain, jujur, bertanggung jawab dan dapat diandalkan
serta berhati nurani. Sekali lagi ini berarti faktor peranan keluarga,
pendidikan formal dan informal, dan komunitas sangat menentukan. Pemerintah
dalam hal ini bertindak sebagai pihak otoritas hendaknya mengkaji
sedalam-dalamnya aspek dari dilaksanakannya program ini, baik yang positif
maupun yang negatif.
Semoga tulisan ini
bermanfaat bagi dunia pendidikan kita.
No comments:
Post a Comment